Tanjung Tembikar: Wujud Kemashyuran Masa Lalu Yang Hampir Dilupakan

Selayang Pandang Masa Kejayaan

   Tepat di bagian tenggara Kota Surabaya, ada sebuah wilayah yang cukup mungil dan jarang didengar namanya. Terkadang hanya orang asli Jawa Timur saja yang masih mengetahui dimana letak pasti wilayah mungil ini. Selebihnya akan mengernyitkan dahi selama sepersekian detik sebelum kemudian bertanya letak kota kecil tersebut dan mulai mengurutkan kota-kota di sekitarnya yang lebih mereka tahu seperti Malang, Surabaya, dan Sidoarjo.

Sekarang, coba anda jawab pertanyaan saya dengan cepat, apa yang hadir dibenak anda ketika mendengar Kota Pasuruan?

Jika anda segera mengingat hangatnya kuah rawon, sedapnya sate komoh, dan gurihnya nasi punel, maka anda belum berhasil menangkap gambaran yang tepat. Sebab kuliner serba nikmat ini justru berasal dari Kabupaten Pasuruan.

Sedangkan jika anda teringat pada manisnya roti matahari, atau bipang jangkar, maka anda setidaknya sudah pernah menginjakkan kaki satu atau dua kali di kota pesisir ini.

Namun, pernahkah anda mendengar nama Tanjung Tembikar

       Kini, coba anda bayangkan. Sekian abad lalu, sebuah wilayah pesisir di sudut paling timur Pulau Jawa yang hampir berdekatan dengan Pulau Madura menarik perhatian puluhan kapal-kapal raksasa nan megah buatan peradaban paling maju kala itu. Berbagai macam ras manusia sempat memenuhi sekitar wilayah yang saat ini masuk otonomi Kelurahan Panggungrejo. Bahkan beberapa etnis Tionghoa, Persia, dan Gujarat memilih menetap dan membeli tanah yang ada di sudut-sudut strategis kota pelabuhan ini. Kelak, keturunan etnis-etnis ini menjadi penggerak roda perekonomian Kota Pasuruan hingga abad 21.

Sumber: https://www.wartabromo.com/2021/09/15/tanjung-tembikar-dan-jejak-jalur-rempah-nusantara/
Sumber: Tanjung Tembikar dan Jejak Jalur Rempah Nusantara - WartaBromo

          Satu-satunya alasan mengapa Tanjung Tembikar menjadi ramai adalah karena lokasinya dianggap mendukung mobilitas perdagangan hasil bumi dalam negeri ke pasar internasional, sehingga menjadikannya salah satu pelabuhan dan pusat perdagangan yang termashyur di bumi nusantara. Berton-ton karung berisi biji kopi, tebu, rempah-rempah, tanaman herbal, serta komoditas hasil ladang dan sawah Indonesia lainnya pernah memadati Tanjung Tembikar dari pagi hingga malam, menuju ke pagi lagi, seakan para kuli panggul dan pekerja tiada henti melakukan aktivitas bongkar muat.

Beberapa penduduk lokal memanfaatkan semaraknya kegiatan di Tanjung Tembikar dengan menata hasil kriya di depan gubuk-gubuk mereka sendiri, hingga tak terhitung lagi ada berapa penjual seni kriya tanah liat yang ada. Jajaran keramik dan gerabah yang memunculkan warna merah bata dari kejauhan menjadi penanda bagi nahkoda bahwa mereka telah sampai di daratan yang dipenuhi tembikar.

      Bergantungnya daerah sekitar atas keberadaan Tanjung Tembikar sebagai sentra ekonomi dan budaya membawa Kota Pasuruan ke masa kejayaannya. Daya tarik kota bandar ini menarik perhatian Belanda untuk memperkuat hegemoninya. Setelah sekian lama menggencarkan strategi untuk mengintervensi pemerintahan yang dipimpin Untung Surapati, Belanda berhasil menumpas Tumenggung yang sangat anti kolonialisme itu melalui keturunan Kiai Onggojoyo. Meninggalnya Untung Surapati tak mengakhiri upaya Belanda untuk terus menyusun skenario agar terjadi pergolakan kekuasaan di Kota Pasuruan. Hingga pada akhirnya, sejarah mencatat bahwa Kota Pasuruan pernah menjadi pusat karesidenan dengan wilayah administratif mencakup Lumajang, Malang, Probolinggo, dan Bangil di bawah naungan penuh Belanda saat terjadi kekosongan otoritas.

Penyebab Kemunduran

        Jatuhnya popularitas Tanjung Tembikar dimulai sejak akhir abad XIX. Tak tahu pasti apa faktor utama yang menyebabkan kedatangan kapal-kapal raksasa itu berangsur-angsur berkurang ke Tanjung Tembikar. Hingga pada akhirnya tak ada lagi kapal besar yang menepi, karung-karung hasil bumi yang dulu memadati sudah tak berdatangan lagi, seolah aktivitas bongkar muat telah mati suri. Dari beberapa sumber yang mencatat riwayat Tanjung Tembikar, setidaknya ada dua hal yang mempengaruhi.

Pertama, kemunduran pelabuhan ini disebabkan oleh pemindahan ibu kota karesidenan ke Malang.

Kedua, gencarnya pembangunan infrastruktur kereta api di Pulau Jawa menjadi ramai dan membuat arus perdagangan bermuara di Tanjung Perak.

Apapun faktor historis yang terekam maupun tidak, intinya membuat lesu aktivitas ekonomi di Kota Pasuruan.

Babak Baru Kehidupan

        Usai masa jayanya berakhir, Tanjung Tembikar dihidupkan oleh kapal-kapal kecil nelayan milik penduduk lokal. Namun, nama besarnya pun ikut surut ditelan zaman seiring tak ada lagi penjual tembikar seperti sedia kala. Nama Tanjung Tembikar kian asing, saat tak ada lagi yang membicarakan betapa sibuknya pelabuhan itu meski bisa jadi nenek moyangnya dahulu pernah jadi bagian hiruk pikuk kegiatan disana.

        Sekarang tempat ini lebih dikenal sebagai Pelabuhan Pasuruan, yaitu dermaga tempat berlabuhnya kapal-kapal nelayan lokal yang menguji keberuntungan dari biodiversitas pantai utara Jawa. Selain aktivitas nelayan, pengunjung setianya berasal dari penduduk Kota Pasuruan yang menjadikan tempat ini kawasan wisata lokal hanya untuk sekadar menghabiskan waktu bersama kerabat di sekitar dermaga sambil menantikan matahari terbenam.

Sumber: Tradisi Praonan yang Kembali Digelar di Pasuruan usai 2 Tahun Vakum | Radar Bromo (jawapos.com)

     Bila sebelumnya terdapat bangunan pertokoan dan kantor pelabuhan, kini beberapa petak telah dialihfungsikan sebagai pabrik sedangkan sisanya dibiarkan terbengkalai. Bila sebelumnya ratusan manusia hilir mudik dan membuka lapak-lapak dagangan mereka yang berasal dari hasil kebun, sawah, ladang, hingga kerajinan tangan, kini tergantikan oleh gerobak pedagang kaki lima yang memadati tempat ini hanya di waktu atau perayaan tertentu.

Seakan mencoba untuk mengulang kembali masa kejayaan silam, kebiasaan warga lokal mengunjungi Pelabuhan Pasuruan untuk menghela napas sejenak dari rutinitas keseharian sambil memandangi hamparan biru laut yang tak terlihat ujungnya, atau hanya memperhatikan aktivitas nelayan di atas perahu mereka, menegaskan kembali bahwa bahagia itu sederhana ketika kita mensyukuri apa yang ada. Belum lagi ketika ada perayaan disana, antusiasme mereka tak pernah padam memadati jalanan dan memakmurkan warung-warung kecil milik penduduk sekitar.

       Mungkin Tanjung Tembikar tak terdengar lagi gaungnya, namun selama masyarakat Kota Pasuruan dan generasi mudanya menyambut hangat upaya pemerintah merawat kawasan bersejarah serta ikut andil melestarikan budaya didalamnya,

Layaknya angin yang berhembus mengiringi masa kejayaan Tanjung Tembikar kala itu,

Perlahan namun pasti, angin itu kembali berhembus melebarkan layar perahu-perahu kecil nelayan yang mengangkut wisatawan menyusuri laut pantai utara mengikuti jejak kapal-kapal raksasa ratusan tahun lalu.

Posting Komentar

0 Komentar