Gaslighting dan Kerusakan Berpikir Bagi Korbannya

Bersyukurlah bagi generasi abad ini, sebab isu kesehatan mental bukan lagi hal tabu untuk dibicarakan. Mari coba sedikit menerka bagaimana generasi sebelumnya belum sepeka kita yang tanpa sadar bisa hapal dengan beberapa istilah gangguan mental, seperti seperti anxiety (gangguan kecemasan), paranoid (gangguan kepribadian), OCD (gangguan obsesif kompulsif), dan sebagainya. Dulu, beberapa pengidap gangguan mental tersebut bisa dengan mudah masuk ke rumah sakit jiwa.

Bagaimana tidak, sejarah kelam mencatat kalau periode pengasingan dan diskriminasi bagi individu yang dianggap ‘berbeda’ dan memiliki kecenderungan dapat meresahkan masyarakat, akan semudah itu diadili tanpa mempertimbangkan hak hidupnya di seluruh dunia. Saya ulangi lagi. Di seluruh dunia.

Perundungan yang demikian tentunya berawal dari sikap antipati masyarakat atas kondisi dan perasaan yang dialami pengidapnya. Salah satu bentuk sederhana kekerasan emosional yang punya pengaruh berkepanjangan bagi korbannya─bahkan telah terbukti secara medis menyebabkan gangguan mental berat dan kompleks─adalah gaslighting.

Mengasah intuisi pada aksi gaslighting: Bagaimana bentuknya?

Pertama, coba kembali bayangkan langkah awal yang harus kamu lakukan sebelum memasak atau memanaskan air. Ya, langkah awal yang harus dilakukan adalah menghidupkan kompor. Pada aktivitas itu, kamu adalah aktor yang memutar tuas pemantik, sedetik kemudian api dihadapanmu menyala berkobar-kobar.

Ini analogi sederhana menggambarkan aksi gaslighting, bahkan aktor utama dibalik tersulutnya api di kompor itu tak ikut terbakar. Secara ilmiah, gaslighting adalah bentuk kekerasan emosional dengan bentuk memperdaya keadaan psikologis seseorang sehingga korban dihantui rasa ragu dan hilang kepercayaan atas dirinya sendiri.

Mengutip artikel saluran kekerasan domestik Texas, USA, beberapa taktik yang dilancarkan oleh gaslighter─sebutan bagi pelaku gaslighting─ meliputi:

1) Melawan tuduhan dengan mempertanyakan kebenaran ingatan korban

Contohnya: “Kurasa kamu tak mengingatnya dengan baik, kamu selalu mengada-ada!”

2) Bertahan seakan tak memahami penjelasan korban dengan tujuan terselubung; menolak mendengarkan

Contohnya: “Aku bingung dengan ucapanmu. Kita hentikan obrolan ini”

3) Menyangkal atau berpura-pura melupakan sebuah perbuatan telah terjadi, ia seorang pembohong ulung

Contohnya: “Kurasa kamu mulai menambahkan cerita”, “Aku tak mengerti dengan apa yang kamu maksud”

4) Meremehkan dan tak menghargai perasaan orang lain

Contohnya: “Ah, baper!”, “Serius kamu sensitif dengan hal sepele seperti itu? Tak bisa kupercaya”, “Kamu terlalu bereaksi berlebihan”

5) Pandai memotong penjelasan dan mengalihkan tuduhan kepada korban dengan mempertanyakan kewarasan korban

Contohnya: “Kamu sudah gila berpikir seperti itu”, “Ada yang salah dengan pikiranmu”

Gaslighting bisa menyasar siapa saja dalam bentuk hubungan seperti apapun. Ini karena biasanya gaslighter merasa punya power atas korban yang lebih rentan.

Sudah bisa mulai mengenali tanda-tanda gaslighting di lingkungan sekitarmu?

Perjalanan emosional korban gaslighting

Kita perlu waspada atas praktik gaslighting, sebab awalnya kita bisa jadi tak merasa terancam sama sekali. Ibarat jam pasir, secara bertahap pola gaslighting akan semakin nampak dan nyata. Menjadi lebih berbahaya dari waktu ke waktu, sedangkan korban disibukkan dengan beribu pertanyaan yang berputar-putar di kepala─benarkah saya tak waras? Apakah saya berhalusinasi?

Hingga akhirnya korban meragukan dirinya sendiri. Waktu tidurnya pun mulai bermasalah, tak lagi tepat waktu, sebab ia menderita kecemasan berlebih. Gelisahnya tak segera usai, sehingga ia mulai menutup diri. Meninggalkan pertemuan bersama kawan-kawan, dan lebih memilih mengisolasi diri.

Korban gaslighting dapat dengan mudah menyalahkan diri sendiri, meskipun sebenarnya suatu masalah belum tentu terjadi murni karena salahnya. Ketika seseorang sudah kehilangan rasionalitas berpikirnya, dan menyimpulkan bahwa seluruh permasalahan yang ada disebabkan oleh kehadirannya, kita semua tahu ending menyakitkan dari kisah ini, bukan?

Intinya, jangan lupa bahwa kesehatan mental punya kaitan sangat erat dengan kesehatan fisik. Gangguan mental sekecil apapun pasti berdampak bagi tubuh dan jiwa. Pelaku gaslighting mungkin dengan mudah menganggap remeh perasaan korbannya, sedangkan ia tak tau sebesar apa bahaya yang mengintai hidup si korban di depan mata.

Pesan agar kamu tak menjadi gaslighter

Ada baiknya bahwa kita selalu meluangkan waktu untuk merefleksi diri, mengenai apapun yang sudah kita lakukan di satu minggu ke belakang. Jika ada satu momen yang mengusik hatimu─misalnya sesuatu yang kamu ucapkan pada seseorang membuat sikapnya berubah─tak ada salahnya untuk bertanya apakah temanmu baik-baik saja dan meminta maaf kalau menyinggung hati.

Untuk menghindari diri menjadi seorang gaslighter, coba sedikit tips ini.

1) Menghargai tiap pencapaian kecil yang berhasil diraih oleh temanmu

2) Ketika ada sinyal insecurity dari orang terdekat, jadilah pahlawan dengan membangun kembali kepercayaan dirinya─atau minimal membuatnya kembali merasa lebih baik

3) Bila temanmu curhat dan tak menanyakan solusi, tetap jadilah pendengar yang baik dan tunjukan empati

Mari kita saling menjaga dan lebih mengasah peka agar tak ada lagi yang jadi korban gaslighting, ya 😊

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Gaslighting itu marak terjadi, malah mungkin sudah menjad hal biasa di kehidupan sehari-hari, beuntung kita hidup di jaman dimana iseu kesehatan mental mulai dianggap penting. suka banget sama topik kali ini.

    BalasHapus
  2. Sering dengar istilah ini, gaslighting, tapi baru kali ini paham apa yang dimaksud. Setelah baca ini, kok parah ya menyerangnya malah korban.

    BalasHapus