Hidup di Era 'Kerja, Kerja, Kerja, Tipes'

Ada yang kerap mendengar celetukan 'Kerja, Kerja, Kerja, Kaya, Tipes'?. Ungkapan ini sebetulnya adalah satire menggambarkan kondisi generasi Y dan segelintir generasi Z di tengah periode dunia tanpa henti bekerja, membawa gulungan ombak tuntutan zaman tiada habisnya. Tuntutan untuk produktif berkinerja secara nyata dengan dalih demi mewujudkan kehidupan yang lebih baik dari saat ini.

Benarkah kita sedang berlari ke angan saleh ini? Atau justru tanpa sadar hanya terbelenggu dibelakang runtutan aktivitas yang kita sebut workaholic hingga tiada lagi waktu merawat mental, psikis, maupun rohaniah diri sendiri? Bagaimana bisa mengaku sebagai manusia yang memanusiakan orang lain, jika kita tak memanusiakan diri sendiri?

Kalau kamu tersindir membaca paragraf di atas, maka selamat datang di era Hustle Culture. Babak baru kehidupan yang buatmu terus terburu-buru. Tentu kenyataannya tiada satupun orang yang ingin frasa kerja, kerja, kerja, tipes itu terjadi. Siapa sih yang mendoakan keburukan untuk dirinya sendiri. Yuk kita coba mengidentifikasi seberapa sehat tata kelola diri terhadap aktivitas berburu cuan yang jadi rutinitas sehari-hari.

Hustle Culture, Sudahkah aku tenggelam didalamnya?

Ada banyak catatan di buku agendamu mengenai sekian hal yang harus kamu selesaikan besok. Bahkan bisa jadi kamu sudah menuliskan target capaian selama seminggu, sebulan, atau─yang lebih dramatis lagi─yaitu target tahunan. Hebat. Ini menandakan kamu orang yang visioner dan punya strategi terbaik untuk meraihnya.

Tapi kamu sangat terobsesi menandai semua target itu hingga tuntas. Bagimu, tanda ceklis di tiap rencana yang kamu susun  amat berharga. Saat angin datang membuat kapalmu goyah, sayangnya kendali yang kamu pegang tak berjalan ke tujuan semula. Padahal kamu sudah mengerahkan seluruh kekuatanmu agar kapal itu stay on the track. Dengan mudah kamu mengutuk dirimu sendiri karena membiarkan kapalmu berjalan bukan menuju hal yang diharapkan.

Sumber: https://unsplash.com/

Padahal waktumu sudah habis hanya untuk pekerjaan itu selesai─tiada waktu bertemu teman atau bahkan bepergian ke tempat wisata bersama keluarga. Kalau sudah begitu, ini saat terbaik untuk menginjak rem sebelum kamu benar-benar tenggelam.

Kalau kamu bertanya, kenapa harus berhenti? Lanjutkan membaca bagian berikutnya.

Tambahan pemasukan dari bekerja overtime = bahagia, benarkah?

Menjadi lebih sibuk itu lebih baik. Sepakat dengan ungkapan ini? Pikirkan kembali.

Memang benar, garis antara kebutuhan dan keinginan kini mulai samar. Kamu beranggapan semua pernak-pernik gaya hidup yang sedang tren sekarang harus dimiliki! Jangan sampai kamu ketinggalan. Kamu bahagia kalau berhasil checkout semua barang dalam keranjang belanja dari tambahan upah yang kamu terima dengan bekerja sepanjang waktu. Ibarat usai memenangkan lomba─yang tak jelas juga siapa lawannya─kamu merasa kehormatan dirimu meningkat setelah punya segalanya.

Yakin kamu benar-benar bahagia?

Sumber: https://unsplash.com/

Sekarang, coba sesekali kamu tengok rekan kerjamu. Kapan terakhir kali kamu membicarakan persoalan di luar pekerjaan dengannya? Atau telepon teman lamamu, tahu apa yang terjadi dengannya baru-baru ini?

Riset ahli menyebutkan, budaya kerja berlebih justru meningkatkan peluangmu menjadi orang asing. Temanmu tak lagi mengirimkan pesan atau menelepon, karena kamu pun tak pernah menunjukkan perhatian padanya. Orang tuamu menganggap kamu sangat mandiri sehingga tiada lagi uluran tangan mereka padamu, atau sekadar pertanyaan sederhana “Kamu baik-baik saja?”. Rekan kerjamu  menderita kecemasan, karena ia tak bisa berlari cepat seperti kamu dan orang-orang lain sepertimu─selain karena tak ada siapapun yang menawarkan bantuan.

Semua itu terbentuk tatkala kamu hanya berfokus pada satu tujuan; bekerja lebih banyak agar sejahtera lebih cepat.

Ketika Burn Out menyerang

Semua orang mengenal kamu sebagai orang yang taat deadline dan tak pernah kehabisan tenaga mengikuti rapat hingga larut. Ide-idemu selalu brilian dan inovatif, banyak yang bergantung pada tiap solusi yang kamu sampaikan.

Kemudian hari itu datang. Tiba-tiba serangan tak berwujud datang membuatmu susah bernapas. Keinginan menyelesaikan pekerjaan hari itu sirna entah kemana. Pikiranmu penuh hal-hal negatif yang berputar-putar tak bisa menemukan jalan keluar.

Apa yang harus saya lakukan? Banyak yang harus saya selesaikan, tapi mulai dari yang mana? Bagaimana kalau saya tidak berhasil mencapai target? Bagaimana pandangan orang lain terhadap saya? Bagaimana… dan bagaimana…

Sumber: https://unsplash.com/

Keinginan beranjak dari tempat tidur, mengecek laporan harian, menulis target berikutnya, hilang tak tersisa. Kamu sangat lelah, secara fisik maupun psikis.

Tolong, bangkit sekarang juga!

Bukan lagi kiasan belaka kalau kondisi kehilangan motivasi untuk melakukan hal-hal terkecil sekalipun, atau yang disebut Burn Out sebagaimana disebutkan oleh Maslach & Leiter, adalah respon psikologis akibat stres kronis berkepanjangan di tempat kerja yang bisa mempengaruhi kesehatan mental hingga penyakit tidak menular seperti jantung dan stroke.

Mengupayakan keseimbangan hidup di tengah Hustle Culture

Sumber: https://unsplash.com/

Sekarang kamu sudah menyadari betapa mengerikan bahaya yang mengintai jika kita terlalu terikat dengan Hustle Culture. Saatnya membangun kebiasaan baru melalui bekerja sedikit lebih lambat dan sehat. Saat ada pertanda kapalmu mulai melaju bukan pada tujuan dengan langkah yang sudah kamu tentukan, setidaknya kapal itu masih berjalan. Kamu bisa memutar─meski memakan waktu sedikit lebih lama─kamu pada akhirnya sampai di tujuan. Paham, kan?

  1. Berdamai dengan hal-hal yang bisa terjadi di luar kendalimu, menjadi tidak sempurna bukanlah sebuah dosa
  2. Mengubah mindset bahwa pekerjaan pasti akan selesai sekalipun dikerjakan dengan santai. Strategi adalah kunci!
  3. Meluangkan waktu untuk mengisi ulang tenaga dengan kegiatan membahagiakan versimu. Tanpa membawa laptop, tanpa membuka grup kantor, tanpa memikirkan rencana aksi yang belum tercapai
  4. Saat pikiranmu mulai dipenuhi rasa pesimis dapat menyelesaikan sesuatu dengan baik, hentikan saat itu juga. Mulai bersyukur atas tugas yang sudah kamu selesaikan dan menanamkan kepercayaan pada diri sendiri "Selanjutnya aku pasti bisa"
  5. Mengasah kepedulian terhadap sesama; perhatikan gaya kerja rekan kantormu, ajak ia berbicara, dengarkan ceritanya dengan saksama, dan tawarkan bantuan sesuai kemampuanmu

Posting Komentar

8 Komentar

  1. Ini jatuhnya harus bisa membagi waktu antara pekerjaan dan diri sendiri, ya, Kak?

    BalasHapus
  2. Relate banget dengan yang aku lalui hampir satu bulan ini. Alhasil, kerjaan seperti tak ada hentinya, waktu berlalu begitu cepat, tapi kemana-mana tak lagi sempat.
    Thanks mbak Tasya, berkat tulisan ini nambah ilmu baru, dan berasa "ditabok" biar sadar.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aa, semangat ya Kak Siti. Kudoakan tiap lelahmu jadi tabungan amal baik. Jangan lupa beri waktu tubuh untuk bernapas di tengah kesibukan ya kak.

      Hapus
  3. Begitu mengerikannya hustle culture, bahkan ada rasa kebanggaan yang muncul ketika bisa bekerja nonstop meskipun tanpa tambahan penghasilan. Fenomena kerja 24 jam atau 48 jam nonstop dipuji seakan-akan sebuah prestasi. Tak sedikit yang akhirnya terkorbankan jiwanya karena budaya ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul kak, sudah banyak korban orang dekat saya akibat terlalu membanggakan gaya hidup seperti ini sekarang. Tapi dibelakang banyak tagihan rumah sakit yang mengintai. Doa terbaik buat Kak Nia agar selalu dalam keseimbangan.

      Hapus
  4. Kadang kita harus sayang diri sendiri sih ya, cuma kadang yang kasih kerjaan ga paham kita :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar juga, sih yaa. Pukpuk buat kamu Kak. Insya Allah semua akan terselesaikan kalau dikerjakan. Jangan lupa tetap luangkan waktu buat apresiasi diri sendiri yah

      Hapus