Khayr Chronicles: Rumah Jamur

Bias sinar mentari menerobos masuk dari sela teralis jendela kaca. Jatuh dengan manis di pelipis Khayr, anak itu masih terlelap di atas kasur kapuk yang berimpit pada jendela. Lama kelamaan pipinya terasa panas, matanya perlahan terbuka menerawang langit-langit merah jambu. Setelah lima menit kesadarannya terkumpul.

Tempatnya berada dulu kamar Umma saat SMP hingga SMA, lalu ditempati tantenya, dan penghuni tetap sekarang adalah pamannya yang masih kuliah.

Minggu ini ia menghabiskan waktu di kampung halaman Umma. Tiap bangun pagi anak itu langsung minta mandi─bahkan sesekali tanpa mandi tubuhnya segera melesat ke luar rumah. Berlari menuju area kebun dan sawah penduduk yang berada sekitar 1,5 kilo dari permukiman itu padat.

Hatinya riang gembira tiap kali berada di sini. Hanya di tempat ini ia bisa mandi di sungai, mencari keong sawah, berlarian mengejar kelinci liar, dan beragam kegiatan asyik lainnya.

Ini hari kedua dari minggu menyenangkan bagi Khayr─artinya kurang lima hari lagi ia bertolak ke negeri Ratu Elizabeth. Teringat waktu bermainnya tinggal sebentar, ia segera bangkit sambil menimbang-nimbang kegiatan apa yang ingin dilakukannya hari ini.

“Hmm,” Umma bergumam. “Ada satu yang terlupa.”

Khayr mengintip Ummanya bersama seorang wanita yang sedang membongkar tas belanja berisi sayur dan buah di dapur. Itu adalah neneknya.

“Iya, kamu belum beli tepung ararut.” ujar nenek sambil mencuci apel di wastafel.

“Oh, iya! Padahal mau bikin cookies untuk Khayr. Mama ndak punya?” tanya Umma saat nenek mulai menggelengkan kepala.

“Kalau begitu, aku coba minta tolong Baba dulu, Ma. Kebetulan sedang mampir ke bengkel yang baru dibuka temannya di dekat pasar.” Umma segera meraih ponsel di dalam sakunya.

“Eh, ternyata cucu nenek sudah bangun.” Nenek mendapati Khayr berdiri di samping rak koleksi tupperware miliknya. Setelah menyeka tangannya yang basah dengan kain lap, nenek meraih Khayr dalam gendongannya. Anak itu menggeliat ingin diturunkan.

“Mau ke Mbah Ndut.” rengek Khayr.

“Boleh, tapi bawa ini,” neneknya memberi satu sisir pisang cavendish. “Bagi dengan Mbah, ya. Pastikan ikut pulang saat makanan sudah siap. Nenek segera telepon kakekmu kalau semuanya matang.”

Khayr mengangguk. Sesaat setelah ia diturunkan, anak itu ngacir tak sabar menghampiri kakeknya.

***

Sehabis subuh kakek Khayr─atau dipanggilnya sebagai Mbah Ndut─selalu keluar dari rumah dan berjalan menuju joglonya. Joglo Mbah Ndut berdiri kokoh di tengah hamparan ladang jagung enam tahun lalu bahkan sebelum pensiun jadi abdi negara. Keseharian Mbah Ndut kini dihabiskan di joglo dari pagi hingga petang. Saat lapar ia pulang ke rumah, atau minta dikirim saja.

Untuk menuju ke sana perlu jalan kaki sekitar 3 menit dari rumah. Rutenya mulai dari menyusuri jalan perkampungan yang hanya muat dilewati satu mobil, menyebrangi dam peninggalan belanda ribuan tahun lalu─ditemani deru air Sungai Gembong yang mengalir deras dibawahnya. Kemudian sampailah ke sisi seberang desa yang lebih asri.

Sungai besar tadi arusnya ada yang dibelokkan menuju area sawah dan kebun, membelah dua sisi jalan setapak menuju joglo yang menyembunyikan bentangan ladang emas kehijauan dibaliknya. Tak heran kalau tempat itu jadi desa wisata yang tersohor.

“Mbah!” teriak Khayr. Anak itu mempercepat langkah kakinya di bawah tanaman labu madu yang bergantungan rimbun, sekitar seratus meter dari joglo.

Terlihat Mbah Ndut dan Pakde─sahabat karibnya─sedang mengepel ubin bercorak kuno. Melihat cucunya datang tangannya melambai. Pakde hanya menoleh sebentar lalu menyibakkan kain pelnya ke udara, membuat gelembung busa beterbangan.

“Itu apa?” Khayr menunjuk bangunan balok putih menyembul separuh tertutupi ladang jagung ketika sampai di selasar rumah joglo. Bangunan itu terletak agak jauh dari tempat mereka berada namun masih terlihat.

“Tempat budidaya jamur tiram, baru sebulan berdiri ya, Pakde?” jawab Mbah Ndut sambil menerima satu sisir pisang dari cucunya.


Pakde menyeka keringat didahinya dan mendongak, “Iya, pemilik dua petak ladang jagung di sebelah ini, Pak Suroso, tapi jarang terlihat orangnya. Warga sini juga ndak boleh ada yang melihat ke dalam proses budidayanya, padahal menarik kalau ditambahkan ke paket edukasi buat anak-anak sekolah, Pak.”

“Aku suka jamur, mau ke sana, Mbah.”

“Kapan hari itu, Pak…” Pakde melanjutkan bicaranya, “Ada mobil pick-up dua kali bolak-balik mengantar tong raksasa ke sana. Ndak tahu buat apa.”

“Sepertinya tadi pagi aku lihat waktu di kebun belakang. Setelah lewat di jalan ada semacam biji jagung berhamburan. Tapi bijinya tertutupi serbuk kayu dan basah.”

“Hmmm.” gumam Pakde.

Khayr menarik baju Mbah Ndut, rasa penasarannya akan rumah jamur itu meningkat, “Ayo ke sana?”

“Mbah masih ngepel, Khayr. Boleh main dulu, nanti mbah antar ke sana, ya?” Khayr mengangguk mendengar janji Mbah Ndut, lalu menuju kebun belakang untuk menangkap belalang biasa ditemukannya hinggap di tangkai pohon jambu kristal yang landai.

Khayr menuju kebun jambu kristal di belakang joglo. Setelah melewati jembatan kayu dan gubuk yang dibangun di atas sungai mungil sumber pengairan ladang, sebuah jalan setapak sempit jadi satu-satunya akses kendaraan menghubungkan area persawahan yang amat luas itu.

Benar kata Mbah Ndut, di atas tanah berpasir tercecer butir-butir kecil bukan kerikil. Jemari kecil itu mengambil satu biji lalu diamatinya lekat-lekat.

Jauh di depannya, sebuah mobil pick-up terparkir di depan bangunan balok putih. Seorang laki-laki berkacak pinggang sambil berbicara dengan ekspresif, dihadapannya berdiri dua orang lelaki terlihat kebingungan. Tiba-tiba ia teringat gurihnya jamur krispi bikinan Umma.

Langkahnya ringan didorong bayang-bayang jamur krispi, tak terasa semakin dekat ke sumber kegaduhan.

***

“Kan saya sudah bilang, nanti kalau dibutuhkan saya minta diantar,” pria botak itu berbicara dengan nada tinggi. “Jangan diantar lagi! Malah sepertinya alat itu rusak, bibit saya ndak ada yang jadi!”

Seorang lelaki bertopi mencoba pasang badan, “Tapi bapak sudah bayar DP-nya, ini milik Bapak. Ini alat masih baru, Pak, ndak mungkin kalau rusak─”

“Ah, bohong! Hampir sebulan saya coba ndak ada hasil. Mau bikin bangkrut bisnis saya, ya?”

“Astaghfirullah─bapak hati-hati ya kalau ngomong,”

“Beli mahal-mahal ndak berguna─Eh! Anak siapa kamu? Buk! Buk! Ada anak kecil ini tolong suruh pergi, Buk─”

Seorang ibu berdaster keluar dari dalam bangunan balok putih, ia segera menghampiri anak kecil yang memperhatikan perdebatan suaminya dan kurir pengantar tong raksasa. “Kemarilah, ndak pantas anak kecil dengar orang tua marah-marah.”

Khayr diajak masuk ke dalam bangunan itu. Ternyata dalamnya seperti gudang, lebar dan panjang, namun tidak ada lantai yang dibangun di bawahnya. Hanya tanah sawah kering jadi pijakannya. Banyak rak-rak kayu dibangun untuk menempatkan sesuatu yang dipadatkan dalam plastik transparan berisi serbuk berwarna coklat muda, beberapa justru tampak pucat hampir putih.

“Kamu datang dari arah joglo, jangan-jangan ini cucu bapak yang punya joglo?” tanya ibu berdaster.

Khayr mengangguk dan balik bertanya, “Kenapa tak ada jamur di sini?”

“Sayangnya, kami belum berhasil menumbuhkan satupun,” ibu itu menghela napas, lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. “Banyak biaya dan tenaga yang kami habiskan satu bulan ini, tapi baglog itu ndak ada yang mengeluarkan jamur barang satu tangkai.”

“Bapak pikir yang rusak adalah steamernya. Makanya dia marah-marah, maaf ya kamu jadi dengar.”

“Boleh aku lihat-lihat tempat ini, Bu?”

“Boleh, jarang ada yang kemari. Selain itu, ndak banyak yang bisa dilihat di sini, nak.”

Anak kecil itu mulai mengitari rak demi rak berisi baglog. Ibu berdaster mengikutinya dari belakang sambil menceritakan proses yang dilaluinya untuk menumbuhkan jamur tiram, meski belum ada yang tumbuh. Sambil sesekali ibu itu berkeluh kesah, Khayr masih semangat mengamati ini itu.

Mungkin karena pasangan suami istri ini sudah mulai menyerah menumbuhkan jamur tiram, keadaan di dalam bangunan itu mulai kotor. Ditambah tidak adanya pekerja yang membantu mengurus tempat itu. Plastik, kertas, serpihan kapur dan grajen dibiarkan mengotori beberapa bagian tanah sawah kering dalam bangunan. Khayr meraih kertas yang terlihat sedikit mengkilat dari tanah, kurang lebih isinya hasil tulisan tangan.

Tulat
Semenjana
Sahmura
Balabad

“Sudah bisa baca?” tanya ibu berdaster di belakangnya.

Khayr menggeleng, “Masih belajar mengeja.”

“Buang saja, itu kotor.” diraihnya kertas kucel itu dari tangan Khayr, sambil memunguti kertas-kertas lain yang ada di dekat sana. “Tempat ini sudah seperti TPA saja.” gumamnya.

***

“Umma, tu-lat, se-men-ja-na, itu apa?” tanya Khayr sambil mengunyah.

“Itu diksi yang jarang sekali dipakai di bahasa sehari-hari, lho, tahu dari mana?” Umma malah balik bertanya.

Khayr mengangkat bahu, “Cuma ingin tahu saja.”

“Umma kue-ku mana?” Khayr kembali bertanya setelah sadar kalau tidak ada cookies yang dijanjikan Umma kemarin malam di atas meja makan.

“Aduh, maaf ya, Khayr. Umma tadi pagi lupa beli salah satu bahannya. Lalu, pas minta tolong Baba malah keliru yang dibeli.” Umma melirik Baba yang duduk di samping Khayr.

“Tadi pagi Baba di bengkel, Khayr, jadi salah dengar─” ujar Baba sambil merangkul anaknya. “Baba kira kelapa parut, ternyata yang diminta tepung ararut. Kan suara bising ya, jadi Baba ambil kata belakangnya seperti serupa, hehehe…”

“Serupa tuh bukan berarti sama, kan, Ba─Mana ndak tanya ulang tadi Umma kira sudah jelas.”

Oh! Iya benar, yang satu itu sama seperti yang diucapkan Umma, batin Khayr mengingat kembali beberapa hal yang tadi diperhatikannya. Ia terdiam sejenak.

“Besok saja ya Umma bikinnya, boleh? Siang ini Umma harus kejar setoran tulisan Komunitas One Day One Post, supaya nanti malam bisa temani Khayr main.” Umma berusaha merayu anaknya yang tiba-tiba diam.

Khayr beranjak dari duduknya, “Aku sudah kenyang, sekarang mau ke Mbah Ndut. Terima kasih, Umma!”

***

Khayr kembali menghampiri Mbah Ndut setelah makan siang. Ternyata kakeknya tidak berada di joglo, melainkan di area tempat jajan sedang memperhatikan beberapa orang yang latihan panahan tradisional. Karena lahan yang luas, sebagian sisi tempat jajan dimanfaatkan untuk wahana tersebut. Tempat itu mulai ramai pengunjung, ada juga para pekerja ladang yang beristirahat saling berkumpul.

Saat melewati gerombolan pekerja kebun, suara riuh dibuat oleh mereka. Bukan dengan sengaja, karena pandangan mereka terpusat di satu orang yang sedang menulis di atas sebuah buku. Sedangkan yang lain terkadang mengawang-awang seperti berpikir, separuh lainnya tertawa cekikikan.

“Mbah, ada hal penting!” kata Khayr sambil naik ke atas bangku rotan di sebelah Mbah Ndut.

Mendengarnya, Mbah Ndut meringis, “Waduh, ada apa toh, le, kok gayamu hal-hal penting gitu.”

“Tapi sebelum itu,” Khayr menunjuk gerombolan pekerja ladang itu, “Mereka tuh sedang apa?”

“Main TTS.”

“Apa itu TTS?”

“Teka-Teki Silang, permainan menebak kata, le. Sekarang sudah jarang, pantas kalau kamu ndak tahu.”

“Apa semua kata dapat giliran buat ditebak, Mbah? Sampai yang susah sekalipun?”

Melihat Mbah Ndut mengangguk matanya berbinar-binar. “Mbah, hal pentingnya adalah…”

"Hmmm," Mbah Ndut mengusap kepala cucunya sambil tersenyum usai mendengarkan cerita anak kecil itu.

***

Dua hari kemudian, Mbah Ndut pulang ke rumah membawa dua kantong plastik yang tidak diketahui apa isinya. Saat dibuka ternyata sekantong penuh jamur tiram ada di dalamnya, belum lagi dikali dua, melimpah!

Nenek, Umma, dan Baba heran kenapa tiba-tiba Mbah Ndut membawa banyak sekali jamur tiram. Sampai-sampai Umma dan Nenek harus bergantian mencucinya sampai bersih.

"Kenapa banyak sekali belinya?" tanya nenek yang tak habis pikir.

"Diberi orang, tanda terima kasih buat Khayr." jawab Mbah Ndut tenang.

Sontak Umma dan Nenek menghentikan aktivitasnya dan menghampiri Mbah Ndut yang duduk di meja makan.

"Apa yang dibuat Khayr, Yah?" tanya Umma.

"Anak itu melihat ada baglogmedia tanam jamur tiram punya Pak Suroso ada yang berbeda warna. Sangat tipis perbedaannya, tapi dia tahu kalau kebanyakan baglog di gudang budidaya itu basah. Terlalu basah! Pak Suroso yang memang baru coba-coba menanam jamur belum punya ilmu banyak, ndak seperti saat menanam jagung."

"Orangnya naif, sudah tahu gagal ndak mau bertanya karena gengsi. Makanya dia melarang ada yang masuk ke gudang jamurnya, karena takut malu sudah sebulan tidak ada aktivitas panen. Selain itu, tebakan polos Khayr lainnya juga benar,"

"Apa itu?" Nenek tak sabar mendengar kelanjutan cerita suaminya.

"Ada yang sengaja membuat baglog jamur itu terlalu basah, jadi jamur ndak bisa tumbuh mau bagaimanapun. Dan pelakunya adalah para pekerja ladang jagung Pak Suroso sendiri."

Umma dan Nenek tak percaya mendengar cerita Mbah Ndut, namun mereka tetap memperhatikannya dengan saksama. "Bocah itu, bagaimana bisa tahu?!" pekik nenek.

"Kapan hari Khayr lihat pekerja itu main TTS, ternyata sebelumnya dia menemukan kertas kucel tulisan tangan─diyakininya sengaja ditulis untuk menghapal. Karena kata-katanya asing dan jarang dipakai, kertas itu jatuh berserakan bersama sampah lainnya di rumah jamur. Khayr ndak berani memberi tahu langsung Pak Suroso dan istrinya, jadi dia memberitahuku"

"Aku selalu percaya pada cucuku, jadi kusampaikan pada Pak Suroso dan istrinya. Mereka memergoki aksi para pekerjanya sendiri. Ternyata semua itu terjadi karena ulah Pak Suroso yang terlalu memusatkan perhatiannya ke rumah jamur. Sedangkan para pekerja ladang jagung belum dibayar."

"Sekarang, tolong siapkan jamur krispi yang paling lezat untuk cucuku itu. Aku akan segera membangunkannya."

Selesai

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Akhirnyaa, Khayr kambek!!

    Btw, ini ceritanya bagus banget, sih. Cerita pulang kampung uang punya sesuatu peristiwa di dalamnya kayak yang soal rumah jamur itu, keren banget, Kakk! Udah gitu deskripsinya enak, pilihan kalimatnya engga ngebosenin.

    BalasHapus