Makan Sekadar Makan?

Makan adalah kebutuhan primer semua makhluk di muka bumi. Aktivitas ini punya fungsi yang sama bagi semua makhluk, yaitu proses kimia yang menghasilkan sumber energi dan menstimulasi pertumbuhan. Tak seperti hewan yang punya insting berburu, atau tumbuhan dari karunia mengolah makanannya sendiri─makan jadi lebih kompleks pada manusia.

Saat bayi, aktivitas makan manusia berawal dari ASI, kemudian disertai makanan pendukung saat menginjak usia 6 bulan. Semua dibantu dan dikenalkan oleh ibu melalui serangkaian proses yang tak mudah. Kebiasaan ibu memperkenalkan aktivitas makan dan jenis makanan yang disajikan, sedikit banyak mempengaruhi pola makan anak-anak. Sebagaimana yang sering ditekankan dr. Tan Shot Yen agar ibu mendampingi asupan gizi seimbang anak sedari dini.

Fellas, tahukah kalau negeri kita ini sedang dilanda triple burden malnutrition?

Yap, Indonesia teridentifikasi mengalami tiga beban masalah gizi sejak tahun 2018. Triple budren malnutrition atau tiga beban gizi terdiri dari anak kerdil (stunting), anak kurus (wasting), dan anak kelebihan berat badan (overweight). Riset Kesehatan Dasar 2018 mengungkapkan gambaran kondisi generasi muda Indonesia sebagai berikut

Ditemukan sekitar 1 dari 3 anak di bawah usia lima tahun mengalami stunting, 1 dari 10 anak mengalami wasting, dan sekitar 8% dari total populasi tersebut mengalami kelebihan berat badan. Sedangkan kasus kekurangan gizi kronis pada remaja Indonesia menyebabkan 1 dari 4 remaja perempuan mengidap anemia, dan sekitar 1 dari 7 remaja kelebihan berat badan.

Lonjakan masalah gizi terjadi akibat pertumbuhan ekonomi masif mendorong munculnya berbagai industri makanan cepat saji dan processed-food. Padahal, United Nation sudah mengonfirmasi melalui laporannya, bahwa apabila makanan ultra-proses sering dikonsumsi bisa membuat obesitas dan─yang paling mengancam─timbulnya penyakit tidak menular, misalkan jantung koroner akibat residu lemak jenuh yang terkandung dalam makanan olahan.

Hadirnya makanan ultra-proses atau olahan secara tidak sadar menggeser pola makan kita. Saat zaman semakin sibuk, kehadiran makanan instan dianggap lebih praktis. Di tengah candu rasa adiktif dan keawetan yang tak masuk akal, kekebalan tubuh kita melemah. Sebab label kandungan nutrisi gizi di balik bungkus makanan olahan itu dusta; tidak ada nutrisi apapun terkandung di sana.

Fenomena anak muda masa kini: Jompo dan mudah sakit

Satu hari di perjalanan pulang dari Tulungagung, Mama mertua dengan sumringah berkisah tentang keluarga orang tua ibunya. Kisah itu menjalar ke mana-mana sampai pada satu titik saya dapati hal yang menarik. Orang jaman dulu mudah sekali punya anak, bisa sampai belasan bersaudara. Ini juga terjadi di keluarga nenek saya.

Kala itu tidak ada makanan olahan seperti sosis dan nugget, hanya bahan makanan sederhana yang diambil langsung dari ladang dan kebun. Namun yang sederhana itu ternyata membuat mereka sehat dan subur. Saat itu belum ada yang tahu PCOS, penyakit yang bisa memicu infertilitas pada wanita.

Mama mertua sempat menggambarkan aktivitas masa kecilnya, bermain kasti di pekarangan rumah, petak umpet, bersepeda, dan kegiatan fisik lainnya. Karena sering bergerak, anak-anak di jaman itu sangat aktif, tanggap, dan punya jiwa sosial tinggi. Mereka tak hanya duduk diam menatap monitor selama berjam-jam di rumah. Tulang mereka kuat karena otot diajak bekerja hampir setiap hari.

Sangat berbeda dengan yang saya lihat sekarang. Beberapa pekan lalu sempat lewat di halaman instagram saya sepenggal video berjudul generasi jompo. Benar, anak-anak jaman sekarang tubuhnya mudah linu dan asam urat meski usia masih belasan sudah bergantung pada segala macam minyak dan koyo. Sedikit miris dan kasihan melihat fenomena ini, bukan lucu. Sebab saya jadi ikut kepikiran kalau sudah jadi ibu jadi sejompo apa?

Tentu badan mereka mudah sakit karena tak memperhatikan asupan nutrisi tubuh dengan baik. Penyebabnya cuma satu; makan hanya sekadar kenyang. Faktanya, tahun 2013 pemerintah sudah melihat potensi negatif dari pola makan semacam ini melalui data jumlah remaja kelebihan berat badan dan obesitas yang terus merangkak naik.

So, jika kita bertahan dengan pola makan demikian, bagaimana ya wujud generasi mendatang?

Secercah Harapan

Saya pun belum sepenuhnya lepas dari produk ultra-proses, tapi sedang berusaha mengurangi konsumsinya. Melihat beberapa influencer sadar makanan padat nutrisi di akun instagram, membuat saya seakan melihat cahaya diujung gang gelap. Cukup bersyukur melihat banyak orang mulai memikirkan ulang konsep makan dengan memperbaiki asupan gizi dan nutrisi. Salah satunya beralih pada pola makan Nutrient Dense Food (NDF) atau konsumsi bahan makanan mengandung gizi seimbang

Nah, apa itu nutrient dense food? Kita bahas di postingan berikutnya.

Posting Komentar

4 Komentar

  1. makan bukan sekedar makan ya mba, kita harus paham nilai kadungan nutrisi dari makanan yang kita makan, ga salah lagi apa yang kita kosumsi saat ini menentukan kesehatan dimasa tua kita,,makasih mba

    BalasHapus
  2. Isi artikelnya relate dengan kajian yang pernah dibawakan oleh dr. Zaidul Akbar, bahwa apakah kita benar-benar makan atau sekedar makan? Artiannya, makan untuk mencukupi nutrisi tubuh atau yang penting kenyang saja

    BalasHapus
  3. Gaya hidup sehat ini memang harus dibiasakan yaa, supya badan tetap bugar

    BalasHapus
  4. Bener ya kak, penting banget buat makan bukan hanya sekedar makan, efeknya jangka panjang dan ada di berbagai bidang <3

    BalasHapus