Meneladani Pendidikan Inklusif di Kota Pasuruan

Penerimaan peserta didik baru (PPDB) nampaknya mulai dibuka di beberapa daerah. Hajat rutin pemerintah ini selalu bikin dag dig dug hati orang tua. 

Fellas, tahukah kalau ada yang berubah di PPDB selama 2 tahun ini dibanding sebelumnya?

Setelah berulang kali ganti aturan, kebijakan PPDB terbaru yaitu Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 memasukkan penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK) melalui jalur afirmasi, lho. Artinya, anak berkebutuhan khusus yang memiliki kecerdasan dan bakat istimewa, serta kesiapan psikis mumpuni punya peluang mendaftar di jenjang sekolah formal.

Tentunya ini adalah angin segar bagi dunia pendidikan, sejalan dengan upaya mewujudkan komitmen global yang terkandung pada Sustainable Development Goals (SGDs) di tahun 2030 nanti di mana menargetkan pembangunan inklusif tanpa ketimpangan (no one left behind).

Beberapa tahun terakhir pemerintah sedang berbenah demi memberikan pemerataan akses dan peningkatan kualitas pendidikan di seluruh penjuru negeri, salah satunya adalah amanat menyelenggarakan pendidikan inklusif.

Sebelumnya mungkin kita lebih dekat dengan istilah pendidikan khusus bagi anak disabilitas. Bentuk pendidikan khusus berupa sekolah luar biasa (SLB) yaitu institusi pendidikan yang menaungi proses belajar mengajar untuk siswa berkebutuhan khusus.

Melalui pendidikan inklusif, anak berkebutuhan khusus punya kesempatan belajar bersama teman-temannya di institusi pendidikan reguler.

Sebagian pemerintah daerah yang menyambut baik pendidikan inklusif bergegas menyusun kebijakan dan skema kerja sama lintas perangkat daerah untuk mendukung pemenuhan fasilitas pendidikan inklusif.

Salah satunya adalah Kota Pasuruan. Kota inklusi yang berhasil meraih apresiasi UNICEF dari program pendidikan inklusif yang inspiratif.

Meneladani pendidikan inklusif di Kota Pasuruan

Dari budaya diskriminatif menjadi kerja sama menanggalkan stigma

Pandangan negatif yang mengarah pada penyandang disabilitas tercatat dalam sejarah kelam berbagai negara. Tahun 1800-an, penyandang disabilitas seringkali dianggap wujud keburukan spiritualitas dan religiusitas, sumber belas kasihan, hingga masalah kesehatan masyarakat yang harus diperbaiki.

Masih berlanjut hingga tahun 1900-an, penyandang disabilitas kebanyakan diasingkan dalam rumah sakit jiwa agar tidak mengganggu kestabilan publik. Masa-masa ini disebut sebagai ableism yaitu fenomena diskriminasi berupa sikap maupun cara pandang terhadap penyandang disabilitas.

Seiring perkembangan dunia pedagogi dan maraknya gerakan menuntut anti-diskriminasi bagi difabel, muncul istilah pendidikan khusus (special education). Bermula dari sini, cikal bakal munculnya pendidikan inklusif timbul.

Namun sayangnya stigma negatif bagi penyandang disabilitas belum usai. Meski tak lagi se-ekstrim dulu, diskriminasi dan spekulasi bagi penyandang disabilitas masih bercokol pada pikiran-pikiran usang masyarakat.

Justru, pendidikan inklusif masa kini menemui tantangannya sendiri, sebab pemikiran bahwa anak berkebutuhan khusus dianggap tidak memiliki masa depan dan tidak perlu menerima manfaat pendidikan seperti anak lainnya masih berkembang di tengah masyarakat kita.

Terlebih, apabila pemikiran ini masih dimiliki oleh orang tua anak berkebutuhan khusus itu sendiri.

Keresahan inilah yang kemudian ditangkap oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Pasuruan beberapa tahun lalu. Terkadang orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus belum menerima sepenuh hati keadaan buah hatinya.

Sikap ini lantas menyebabkan anak-anak tersebut hanya terkurung di rumah tanpa penanganan. Bahkan, tak hanya di Kota Pasuruan saja, pencatatan jumlah penyandang disabilitas usia sekolah menjadi hal yang susah karena tidak mudah dijangkau. Untuk mengubah kondisi ini, Kota Pasuruan mengolahnya menjadi isu strategis daerah yang perlu segera ditangani.

Oleh karena itu, terbitlah kebijakan yang mendasari mandat mewujudkan pendidikan bagi kelompok rentan seperti anak berkebutuhan khusus dalam Perwali Kota Pasuruan Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif.

Amanat Perwali Pasuruan Nomor 9 Tahun 2017:

  1. Membuka penerimaan PDBK di seluruh jalur pendidikan, baik formal maupun nonformal
  2. Menyusun kurikulum pendidikan inklusif sesuai dengan kebutuhan masing-masing PDBK
  3. Membuka layanan Ruang Sumber di sekolah bagi siswa PDBK yang ditujukan untuk pemberian layanan pendidikan khusus oleh guru pendamping khusus/guru mata pelajaran dilengkali dengan sarana dan prasarana mendukung
  4. Memfasilitasi penyediaan guru pendamping khusus di setiap sekolah untuk membantu dan membersamai proses belajar PDBK

Saat itu, tidak semua pemerintah daerah memiliki regulasi yang mengatur pendidikan inklusif. Kota Pasuruan satu langkah lebih dulu mengawali pembangunan konstruksi pendidikan inklusif dengan beragam tantangan yang menghadang.

Sadar tidak bisa optimal jika dikerjakan sendiri, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Pasuruan menggandeng perangkat daerah yang punya benang merah di urusan pendidikan inklusif.

Dari kolaborasi ini, akhirnya berhasil dicapai kesepakatan yang menjadi penggerak roda pendidikan inklusif di Kota Pasuruan, misalnya:

  1. Pelatihan Guru Pendamping Khusus di sekolah-sekolah inklusif
  2. Pemberian biaya pengembangan pendidikan inklusif setiap tahun bagi sekolah negeri (SD dan SMP)

Setelah 5 tahun berjalan, jerih payah Pemerintah Kota Pasuruan memperkenalkan pendidikan inklusif lambat laun berhasil mengubah persepsi masyarakat. Rekap data siswa berkebutuhan khusus 2018-2019 menunjukkan peningkatan signifikan jumlah anak yang terdaftar di sekolah.

Ini memperlihatkan kalau orang tua mulai perhatian dengan kebutuhan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Meskipun sempat menemui batu kerikil di perjalannya, apalagi ketika pandemi merebak, tidak mengurungkan antusiasme orang tua mencoba peruntungan mendaftarkan anak mereka ke institusi pendidikan formal agar menerima pendidikan setara anak lainnya.

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Semoga semakin banyak kota-kota di Indonesia yang dapat meniru keterbukaan Pasuruan tentang pendidikan, khususnya untuk memenuhi hak pendidikan adik-adik difabel.

    BalasHapus
  2. menjadi sekolah inklusif adalah suatu tanggung jawab yang besar, bukan hanya terhadap ABK, tapi juga teman-temannya. Salut dengan sekolah-sekolah di Pasuruan yang mau menanggung tanggung jawab ini.

    BalasHapus