Sindrom Serotonin, Penyebab Kita Tak Boleh Terlalu ‘Bahagia’

Saat bersedih atau dihadapkan pada waktu-waktu sulit, suatu zat di otak kita dengan segera mengaktifkan mode stres. Saat stres kita dihadapkan pada dua pilihan─mengelola atau justru membiarkan berlarut-larut. Tentu kita sering mengambil pilihan pertama, mengelola stres supaya minimal tidak mengganggu kesehatan fisik.

Inilah yang disebut dengan coping mechanisms atau usaha beradaptasi untuk mengurangi ketegangan dan kecemasan di tengah situasi penuh tekanan. Dengan mengolah stres agar merasa lebih baik, artinya kamu sudah berhasil melakukan intervensi psikologis pada pikiranmu sendiri. A little bit of stress is not a problem, kata orang bijak. Memiliki fase sedih dan kecewa ternyata menjadikan kita lebih sehat.

Kok, bisa?

Fellas, ternyata hormon bahagia yang diproduksi tubuh kita tak selamanya bersahabat. Saat seseorang kelebihan hormon serotonin, hal ini bisa mengancam nyawa kalau tidak dilakukan perawatan dini, lho. Apa itu sindrom serotonin, faktor risiko, dan gejalanya, yuk mengenalnya lebih jauh!

Kenalan dengan Sindrom Serotonin

Terlebih dahulu, mari mengenal serotonin itu sendiri. Serotonin adalah sebuah neurotransmitter, yaitu pembawa dan pengirim pesan pada salah satu sel saraf (neuron) ke sel saraf lainnya bagi seluruh jaringan tubuh manusia. Nah, serotonin merupakan neurotransmitter yang membawa hormon bahagia.

Saat kondisi biasa, tubuh kita mengandung serotonin dalam jumlah seimbang. Senyawa ini membantu kita untuk mengatur perilaku, suasana hati, ingatan, bahkan melancarkan aliran darah.

Serotonin akan berbahaya saat jumlahnya menjadi berlebih. 

Too much serotonin activity in our bodies can be dangerous”─Kelly Johnson-Arbor, M.D., Ahli Toksikologi Medis dan Direktur Co-Medis National Capital Poison Center Washington DC.

Penyebab dan faktor risiko Sindrom Serotonin

Perlu diingat kalau sindrom serotonin tidak tiba-tiba menjangkiti tubuh, ya, melainkan saat ada pemicunya. Pemicu produksi serotonin yang kelewat batas terjadi saat seseorang mengonsumsi obat-obatan tertentu yang menyebabkan peningkatan serotonin di sistem saraf pusat.

Kelompok risiko dari sindrom serotonin adalah mereka yang mengalami stres atau depresi, kemudian memutuskan untuk mengonsumsi obat-obatan terapeutik tanpa anjuran dokter atau melebihi dosis normal. Selain itu, pengguna obat-obatan terlarang termasuk mereka yang rentan terpapar sindrom serotonin.

Tanda dan gejala Sindrom Serotonin

Tanda seseorang terjangkit sindrom serotonin dapat diketahui selang beberapa jam setelah mereka mengonsumsi suatu obat yang memantik pertumbuhan kadar serotonin berlebih dalam tubuh. Sekitar 60% kasus sindrom serotonin di Amerika Serikat memperlihatkan tanda dan gejala dalam 6 jam, sebagian lagi baru terlihat saat 24 jam.

Ada 3 tanda utama yang jadi penanda seseorang mengalami sindrom serotonin yaitu delirium (penurunan kesadaran), peningkatan suhu tubuh, dan kekakuan otot. Beberapa gejala lain yang menyertainya meliputi:

  1. Gemetar;
  2. Berkeringat terlalu banyak;
  3. Gelisah;
  4. Kedutan otot;
  5. Detak jantung tidak teratur;
  6. Dilatasi pupil;
  7. Sakit kepala;
  8. Bibir kering;
  9. Diare;
  10. Tekanan darah tinggi;
  11. Perubahan suasana hati dan kondisi mental;
  12. Halusinasi;
  13. Kejang; dan
  14. Ketidaksadaran.

Pada kasus lanjut, sindrom serotonin dapat menyebabkan komplikasi sehingga meracuni jaringan dan organ tubuh. Komplikasi sindrom serotonin dapat berupa gagal napas, gagal ginjal, darah menggumpal, hingga kematian.

Mencegah timbulnya Sindrom Serotonin

Sindrom serotonin biasanya timbul bersamaan dengan sindrom lain, khususnya bagi mereka yang sedang melakukan pengobatan depresi dan harus mengonsumsi berbagai macam obat dalam satu waktu. Di sinilah pentingnya pencegahan dini timbulnya sindrom serotonin dengan cara memastikan konsumsi obat-obatan tersebut tetap dalam pantauan tenaga medis.

Gejala akut sindrom serotonin bisa dicegah agar tidak menjadi komplikasi selama penderita mendapat serangkaian upaya meminimalisir risiko.

Oleh karena itu, ada baiknya kita melakukan konsultasi pada dokter apabila timbul keluhan saat sedang mengonsumsi suatu obat. Terlebih, upayakan untuk tidak menambah dosis obat yang dikonsumsi apabila tidak mendapat resep dokter secara resmi.

Referensi:
https://www.forbes.com/health/mind/what-is-serotonin-syndrome/
https://www.alodokter.com/


Posting Komentar

6 Komentar

  1. Ini berkaitan dengan mental health seseorang ya kak. Saya baru tahu terkait syndrom ini. Yang aman ada hubungannya dengan pengelolaan stress.OMG, mau diapain itu stress tergantung kitanya ya, asal tidak berujung menyakiti atau merugikan orang lain

    BalasHapus
  2. Aku baru tau kalau ada sindrom seperti ini

    BalasHapus
  3. Wahh,, baru tahu ada syndrom ini. Keren pembahasannya <3

    BalasHapus
  4. Hidup itu harus seimbang ya berarti tidak boleh berlebihan hehehe.

    BalasHapus
  5. Memang harus hati2 ya, dalam penggunaan obat. Harus di bawah pengawasan dokter

    BalasHapus
  6. Menarik banget ini, ternyata ada penjelasannya secara medis. Memang, hidup itu bukan tentang suka-suka aja, tapi ada duka-duka yang harus dihadapi.

    BalasHapus