Tren Wedding, Perlukah Mengikuti Semua?

Ketika telah datang jodohnya, siapapun pasti ingin menyegerakan sebuah pernikahan. Sebelum janji suci terikat di depan wali dan saksi, serangkaian proses menuju the big day harus disiapkan para calon pengantin. Ada yang cenderung keep it simple, misalkan beauty influencer Suhay Salim yang menikah di KUA dengan kasual. Saya yakin di luar sana banyak orang seperti Suhay Salim dan suami, saya pribadi jujur cukup kagum dengan mereka─beserta keluarga besar yang memberi dukungan tentunya. 

Bagi kebanyakan orang, pernikahan membawa harapan jadi momen sekali seumur hidup. Belum lagi kalau sudah berurusan dengan segala prosesi adat istiadat yang berlaku di masing-masing suku dan umat beragama. Makin banyak persiapan yang harus disediakan tentunya. 

Sayangnya, menurut riset kecil-kecilan sendiri, biaya nikah tiap tahun semakin bertambah, lho, Fellas.

Perlu digarisbawahi yang dimaksud biaya di sini berkaitan dengan biaya jasa vendor pernikahan dan keperluan yang mengikutinya, ya. Sebab kita tahu kalau sebetulnya pemerintah sudah sangat meringankan biaya administrasi bagi calon pengantin─apalagi buat yang berkenan menikah di KUA.

Namun, tak dipungkiri dinamika hidup manusia lekat pada gaya hidup masing-masing. Selain era baru kecanggihan teknologi secara tidak langsung berdampak pada keinginan mewujudkan pernikahan ideal. Kiranya, baik atau buruk? 

Pengaruh sosial media: Persepsi dream wedding yang sengaja dibentuk

Tahun 2018, Forbes mengunggah artikel berjudul Bagaimana Media Sosial Mengubah Ide dan Biaya Sebuah Pernikahan Ideal─dalam bahasa inggris. Andrew Arnold, si penulis, menjelaskan perbandingan mencolok antara pernikahan abad ini dengan pernikahan pra-media sosial. Era media sosial telah membawa kenaikan biaya pernikahan di Amerika Serikat secara konstan setiap tahun. Salah satu penyebabnya adalah dorongan untuk terlihat perfect dan instragrammable.

Saya cukup setuju dengan pernyataan tersebut, apalagi didukung hasil riset kalau 62% pasangan yang sudah bertunangan menghabiskan banyak waktu di media sosial. Untuk apa? Mencari tren pernikahan terkini yang bisa masuk ke wedding plan mereka, tentunya.

Kalau melihat fenomena terdekat dengan saya adalah budaya bridesmaid. Sejak kapan munculnya kebiasaan memberi kain pada keluarga dan teman-teman dekat untuk dipakai saat hari-H pun saya tak tahu. Tapi memang hal ini kerap ditemui pada postingan teman-teman yang menikah. Akhirnya, saya pun ikut-ikutan juga─dengan niat supaya keluarga dan sahabat dekat ikut bahagia bersama saya. Tidak lebih.

Tren-tren baru di dunia per-wedding-an ini banyak banget. Tersebar baik di rangkaian acara sebelum hari-H sampai the big day berlangsung. Misalkan, bridal shower, gaya dekorasi, lighting dan smoke di atas pelaminan agar lebih dramatis, serta yang lainnya. Tanpa sadar asupan konten yang masuk membentuk dream wedding versi kita sendiri.

Lantas, Apa benar, semua itu harus ada dan kita bayar?

Hati-hati efek memaksakan kesempurnaan

Punya konsep pernikahan impian bukan sebuah kesalahan. Namanya mimpi memang baiknya kita jadikan motivasi untuk mencapainya, bukan?

Tapi, alangkah lebih baik kalau semua berjalan on the track alias sesuai budget. Supaya nanti kita tak perlu lagi pusing soal tagihan yang belum terbayarkan. Pentingnya menyusun wedding budget sebelum menentukan vendor itu wajib. Supaya proses memilih dan memilah vendor sesuai indikator yang sudah ditetapkan di awal; stay on budget.

Tak perlu malu kalau vendor incaranmu ternyata menetapkan harga di luar budget yang sudah disiapkan. Mereka masih menerima permintaan maafmu untuk mencari vendor lain yang lebih terjangkau, daripada nantinya justru muncul tunggakan.

Semua yang terlihat di media sosial memang menawarkan seribu satu kesempurnaan. Kini saatnya kamu benar-benar mempertimbangkan sesuai kapasitas diri. Semua yang terlihat apik di feeds belum tentu bermanfaat, dan bukan kewajibanmu pula untuk mengikuti semua tren terkini hanya untuk estetika semata.

Mari bayangkan, betapa melelahkan menghabiskan waktu berbulan-bulan hanya untuk niatan agar sedap dipandang mata─sedangkan niatan asli menikah itu untuk ibadah sepanjang hidup.

Sangat lelah.

Jadi, jangan lupa menata niat dan hati terlebih dulu sebelum menetapkan strategi, ya. Agar momen spesial seumur hidup ini membawa keberkahan─bukan stres tak berkesudahan.

Posting Komentar

6 Komentar

  1. Setuju dengan pendapat Kak Tasya, bahwa tidak semua tren itu harus diikuti. Di lain pihak, perlu juga menimbang-nimbang batas minimal seperti apa yang harus kita berikan, karena pernikahan itu merupakan suatu momen besar bagi orangtua, bukan hanya untuk diri kita sendiri.

    BalasHapus
  2. Iya kak, setuju bgt, sosial media bener2 berpengaruh bgt ya. Postingan ini mengajak pembaca untuk kritis. Jgn smpe hanya untuk memperindah feeds instagram, kita mengorbankan hari setelah hari H nya yg justru biaya untuk hidup lebih besar

    BalasHapus
  3. Saya mungkin salah satunya ya, Kak Tasya, namun karena rakyat biasa jadi gak keliput media..hihi

    Dari awal menikah, saya tidak mau ikuta-ikutan trend, dengan prosesi lamaran yang tampilannya ngalahin akadnya,, saya memilih simple ala lamaran jadul.

    Sebenarnya kembali kepada kemampuan pribadi, namun ujung-ujungnya malah diikuti oleh kalangan anak muda sekarang. Khawatirnya hasil dari memaksa financial untuk wedding trend ini malah ngebuat jangka panjang jadi berantakan

    BalasHapus
  4. bener banget kak, tidak semua trend di sosial media itu harus di ikuti

    BalasHapus
  5. Menurutku masalah ini juga bisa berpengaruh karena takut diomongin tetanga sih, apalagi untuk yang tinggal di kampungg. Tetangga di sana benar-benar nyinyir sekali..

    BalasHapus
  6. Menurutku ga perlu semua diikuti Kak. Menyederhanakan keinginan dan menginginkan kesederhanaan, hehe.

    BalasHapus