Buat Cinta Pertamaku

Ayah.

Itulah panggilan cinta pertamaku. Tiada pernah dalam hidup ini kurasa awan kelabu karena Ayah selalu ada—sebagaimana juga Mama. Meski waktu-waktu sulit tentulah datang, Ayah dan Mama jadi penopang kalbuku untuk tetap bertahan dan berjuang.

Ayah adalah lelaki terhebat yang pernah kukenal.

Dua puluh lima tahun hidup di kota kecil ini, selama itulah aku tak pernah mendengar kabar miring tentang Ayah.

Semua orang cinta Ayah.

Semoga kelak kesaksian mereka tentang Ayah bisa jadi pemberat timbangan amal baik bagimu, ya cintaku.

Terkadang ia terasa bukan seperti Ayah bagiku. Sebab hubungan ayah dan anak ini cenderung seperti pertemanan dan persahabatan.

Terkadang aku memanggilnya Pak Bos, Bro, Cintaku, Kau, Kamu, dan—panggilan kasual sehari-hari buatmu, yaitu Pak Ayik.

Jarang sekali kulihat ia marah, karena pembawaannya terlampau santai. Namun tak berarti Ayah membiarkan waktunya habis sia-sia, di sela jam-jam santai itu otaknya tetap bekerja.

Langkah yang diambilnya taktis penuh pertimbangan, walaupun tiada pernah ku tahu kapan ia sempat memikirkan di tengah kesibukan.

Ayah tak segan menawarkan bantuan bahkan memberi lebih kepada siapapun didekatnya. Tanpa pamrih ia tak pernah memilih dan memilah lingkar pertemanannya. Siapapun bisa jadi temannya. Duduk di atas ubin yang sama, minum dari cerek yang sama, makan di atas lembar daun pisang yang sama.

Ayah tiada pernah berubah. Setinggi apapun pangkat dan jabatannya, atribut itu segera ditanggalkannya seusai jam kerja.

Aku bersyukur menjadi satu dari tiga anaknya. Ayah tak pernah membedakan anak-anaknya dan anak-anak orang lain. Kami dibiarkan tumbuh di pinggiran kota yang damai. Tanpa menjadikan tuntutan zaman sebagai acuan. Cintaku ini hanya ingin anak-anaknya mampu hidup bersanding dengan segala rupa kelompok manusia.

Sejujurnya ia orang yang perasa. Terlebih untuk hal-hal yang berkaitan dengan anak-anaknya. Isyarat dan perhatian kecilnya cukup bermakna, meskipun kelihatannya ia biasa-biasa saja.

Ada yang kukhawatirkan darinya. Ia terlampau kuat, hingga tak pernah kutahu keluh kesahnya.

Semua seolah cukup dipendamnya sendiri. Terkadang pula hal ini yang buatku jengkel dan..... sedih.

Jengkel saat tahu belakangan kalau Ayah sempat menghadapi kesulitan,

Dan sedih ketika sadar kalau aku hanya anak yang banyak meminta. Padahal Ayah menghadapi semuanya sendiri. Hampir tak pernah ia mengisahkan masalahnya.

Ayah, semoga pundakmu tetap kuat menopang beban dunia. Tiap hela napasku terhembus doa agar keringatmu jadi jalan menuju surga-Nya tanpa hisab—begitu pula dengan Mama.

Sesungguhnya tiada materi dariku yang bisa membalas kasih sayangmu. Dan ini cukup buatku sesak sewaktu-waktu.

Tapi, Insya Allah, jerih payahmu dan Mama mencarikanku ilmu bisa jadi perantara surgamu.

Tetaplah sehat, cintaku, sebab masih panjang jalan bakti yang belum kutuntaskan padamu. Aku, Bella, dan Daffa masih butuh kehadiranmu dan Mama hingga berpuluh tahun berikutnya.

Posting Komentar

5 Komentar

  1. Ayah memang cinta pertama bagi anak perempuan ya kak, sosok laki-laki yang paling kita sayang. Ngomog-ngomong soal ayah, aku selalu pengen nangis bukan karen sedih atau tak bahagia melainkan karena bahagia dan bangga karena punya sosok pahlawan yang sangat hebat. Ayah sosok yang menjadi orangtua, sahabat, teman curhat, patner, kekasih dan masih banyak lagi

    BalasHapus
  2. Sweet banget kak Tasya.
    Tidak semua anak perempuan mendapatkan sosok Ayah seperti milik kak Tasya.
    Beruntungnya dirimu, Kak Tas.

    salam untuk seluruh keluarga, ya

    BalasHapus
  3. Para ayah akan selalu menjadi cinta pertama para perempuan tanla disadari. Semua ayag punya cara sendiri dalam menyayangi, dari menjadikannya anak bahkan teman. Aku merasa beruntung juga punya ayah seperti ayahku, seperti Kak Tasya yang bangga sama ayah Kakak. Tetap sayangi daj bahagiakan beliau ya, Kak, selama masih menghirup udara yang sama dengan Kakak. Sehat selalu!

    BalasHapus
  4. Sosok ayah tergambar pada Kak Tasya, baik dan pintar . Berbahagialah yg masih memiliki ayah. Semoga selalu bahagia, yaa

    BalasHapus